Kegemukan atau obesitas sejak lama telah dikenal sebagai salah satu  faktor risiko penyakit jantung. Para dokter kerap memperhitungkan  obesitas dalam menilai risiko seseorang mengidap penyakit jantung.
                   Pasien penyakit jantung dengan ukuran lingkar pinggang  lebih besar dari 35 inci pada wanita atau 40 inci pada pria memiliki  risiko lebih besar 70 persen untuk meninggal lebih cepat.                 
Obesitas di antaranya dapat diketahui dengan melakukan pengukuran body mass index  (BMI). Ini adalah pengukuran sederhana dengan cara membagi nilai berat  badan dengan ukuran tinggi badan yang dipangkatkan. Semakin besar skor  BMI seseorang, semakin besar kemungkinannya masuk dalam kategori  obesitas.
Sejumlah penelitian mengindikasikan, tingginya skor BMI  berkaitan dengan risiko lebih rendah untuk meninggal akibat sakit  jantung atau akibat penyakit kronis. Ini merupakan fenomena misterius  yang dikenal dengan istilah "paradoks obesitas"
Menurut analisis para ahli yang dimuat di Journal of the American College of Cardiology,  paradoks ini tampaknya dapat dijelaskan dengan fakta sederhana bahwa  BMI tidaklah cukup akurat untuk mengukur risiko yang berkaitan dengan  penyakit jantung. Ukuran lingkar pinggang, kata para ahli, justru dapat  memberi petunjuk yang lebih akurat dalam memprediksi risiko kematian  pasien jantung akibat serangan di usia muda ataupun akibat lainnya.
Dalam  sebuah penelitian para ahli di Mayo Clinic Rochester, Minnesota AS,  pasien penyakit jantung dengan ukuran lingkar pinggang lebih besar dari  35 inci pada wanita atau 40 inci pada pria memiliki risiko 70 persen  meninggal lebih cepat ketimbang mereka yang berlingkar pinggang lebih  kecil. Ukuran lingkar pinggang yang besar dikombinasikan dengan  tingginya skor BMI bahkan membuat risiko kematian jauh lebih besar.
"Hal  paling penting dibandingkan yang lain kemungkinannya adalah distribusi  lemak," kata peneliti Francisco Lopez-Jimenez, MD, peneliti yang juga  ahli jantung di Mayo Clinic Rochester.
"Penelitian terbaru ini  menunjukkan bukti lain bahwa BMI punya banyak keterbatasan dalam menilai  risiko penyakit jantung," kata Jean-Pierre Després, PhD,  Direktur  Riset di Quebec Heart and Lung Institute, Laval University, Quebec City.
"Jika  Anda mengukur BMI, maka Anda tidak akan menilai bentuk tubuh, Anda  tidak melihat distribusi lemak,"  kata Després, yang menulis sebuah  editorial dan menyertai laporan riset ini.
"Saya tidak mengatakan  bahwa BMI tak berguna. Hanya, kita perlu yang lebih dari itu. BMI adalah  total kolesterol dalam lemak. Kita tahu bahwa ada kolesterol yang baik  dan kolesterol buruk, ada lemak jahat dan lemak baik."
Selain itu,  lanjut Despres, BMI juga tidak dapat membedakan antara lemak dan otot.  "Pasien jantung yang menjalani gaya hidup kurang aktif mungkin mencatat  BMI yang rendah karena mereka kehilangan massa otot," paparnya. Adapun  pasien jantung yang memiliki gaya hidup aktif mungkin akan mengalami  penambahan berat dan peningkatan BMI karena mereka menambah otot tak  berlemak.
Hasil temuan ini juga memicu perdebatan seputar bentuk  tubuh dan risiko mengidap penyakit jantung. Beberapa penelitian lain  menunjukkan indikasi bahwa mereka yang memiliki tubuh berbentuk apel  dengan timbunan lemak di daerah perut berisiko lebih besar mengidap  sakit jantung dibanding mereka yang tubuhnya berbentuk pir. Namun, teori  ini dipertanyakan oleh para ahli.
Lopez-Jimenez dan timnya  menganalisis data sekitar 16.000 pasien jantung yang berpartisipasi  dalam satu dari empat studi dan program rehabilitasi jantung di Mayo  Clinic. Lebih dari sepertiga pasien tercatat meninggal selama  penelitian, dengan rentang waktu antara enam bulan dan tujuh tahun.
Tingginya  nilai BMI berkaitan dengan risiko 35 persen lebih rendah mengalami  kematian. Namun, memiliki lingkar pinggang yang besar ditambah tingginya  nilai  BMI membuat risiko kematian melonjak hingga dua kali lipat.
Kenapa lemak di perut begitu jahat? Peneliti menjelaskan bahwa lemak perut adalah tanda dari lemak visceral atau  lemak yang berkumpul di sekitar organ-organ di abdomen atau perut.  Lemak-lemak inilah yang dapat memicu resistensi insulin dan meningkatnya  jumlah kolesterol jahat selain juga dapat merangsang peradangan.
"Faktor  genetik memainkan peran sangat kuat dalam menentukan apakah seseorang  dapat menimbun lemak pada sekitar pinggang," kata Després. Ia  memperkirakan, sekitar 30 persen populasi cenderung menimbun lemak pada  tempat yang tidak diiinginkan tersebut.
Sumber: http://health.kompas.com/
8:25 PM
sepakbola



0 comments:
Post a Comment